Kepentingan Politik di Balik Isu Kebangkitan Komunisme
Isu PKI sangat efektif karena bisa menjadi musuh bersama sekaligus menggalang solidaritas kelompok politik strategis seperti kelompok Islam dan TNI.
Penyidik Bareskrim Polri menampilkan barang bukti kaos bergambar palu arit yang disita dari seorang pedagang online. | ANTARA/Rosa Panggabean
Puncaknya adalah Simposium Tragedi 1965 yang berlangsung April 2016. Simposium besar yang disponsori pemerintah bersama Komnas HAM, aktivis hukum, dan para akademisi tersebut menghasilkan rekomendasi untuk rekonsiliasi nasional dampak peristiwa 1965. Beberapa rekomendasinya antara lain permintaan maaf kepada penyintas peristiwa 1965-1966 serta jaminan rehabilitasi terhadap mereka yang dulu dituduh PKI.
Meski tak semua rekomendasi itu dijalankan pemerintah setelah berlangsungnya acara tersebut, Jokowi menginstruksikan kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kapolri ketika itu Jenderal Badrodin Haiti agar tak sewenang-wenang menindak berbagai acara atau menyita atribut yang diduga terkait komunisme.
Namun, pihak lain melihat pelaksanaan simposium tersebut memberi legitimasi atas tuduhan soal kebangkitan komunisme di balik pemerintahan Jokowi. Belakangan, muncul rumor Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) XXV/1966 tentang Larangan Paham Komunisme juga akan dicabut.
Digelarnya simposium tersebut juga memicu perpecahan di kalangan pendukung Jokowi. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Luhut Pandjaitan saat itu berperan aktif dalam simposium. Sebaliknya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu kabarnya menolak simposium.
Ryamizard, bersama dengan para purnawirawan dan petinggi TNI, malah menggelar pertemuan tandingan dengan ormas-ormas Islam seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Forum Umat Islam (FUI) dan lainnya, untuk membahas rekomendasi simposium.
Kabarnya, setelah pertemuan itulah kedekatan antara para purnawirawan dan petinggi TNI dengan ormas-ormas Islam semakin mesra. Untuk mengimbangi pendekatan ke ormas Islam, Jokowi memilih merapat ke Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Setiap berkunjung ke dua ormas Islam terbesar tersebut, mantan Walikota Solo itu menegaskan, persoalan PKI sudah final.
“Sudah jelas di konstitusi kita, (PKI) tidak boleh ada di Indonesia. Kalau ada tunjukkan ke saya. Biar saya gebuk,” kata Jokowi. PDIP sendiri sudah beberapa kali menegaskan, partai mereka berideologi Pancasila dan tidak memiliki kaitan apa pun dengan PKI dan ideologi komunisme.
Pengamat politik AS Hikam menilai, isu kebangkitan PKI sengaja diciptakan untuk memunculkan persepsi tertentu. Isu PKI muncul karena manuver politik yang dilakukan sejumlah kelompok untuk mendiskreditkan Presiden Jokowi dan pemerintah.
Apalagi, isu PKI sangat efektif karena bisa menjadi musuh bersama sekaligus menggalang solidaritas kelompok politik strategis seperti kelompok Islam dan TNI. Semuanya ini bermuara ke kepentingan politik Pemilu dan Pilpres 2019.
Kepentingan politik lain sebenarnya juga bisa masuk menunggangi isu komunisme. Dalam kericuhan di YLBHI, awalnya acara yang akan digelar adalah diskusi pengungkapan sejarah 1965-1966 pada 16-17 September 2017. Namun, acara tersebut urung digelar karena Polri menilai belum memiliki izin
Sebagai gantinya, para aktivis menggelar diskusi dan pentas seni ‘Indonesia Darurat Demokrasi.’ Acara yang sedianya berlangsung pada Minggu (17/9) malam itu kabarnya akan dihadiri sejumlah aktivis yang kritis terhadap pemerintah, dengan topik bahasan masalah kontemporer di era pemerintahan sekarang yang mengancam kebebasan berpendapat. Namun, acara itu bubar lantaran digeruduk massa.