Sorotan Tajam Atas Kebijakan Menteri Enggar Soal Gula

Komisi Perdagangan DPR akan mempertanyakan kebijakan baru Menteri Enggar tersebut dalam rapat kerja dengan Kementerian Perdagangan pekan depan.

 

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita berbincang dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. | Katadata | Arief Kamaludin

Meski sempat tertunda beberapa kali karena menuai kritik dan kontroversi, kebijakan lelang gula rafinasi akan tetap berlaku mulai awal Oktober mendatang. Kebijakan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tersebut dianggap tanpa koordinasi terlebih dahulu di internal pemerintah.Wakil Ketua Komisi Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Inas N. Zubir menyatakan, parlemen akan mempertanyakan kebijakan baru Menteri Enggar tersebut dalam rapat kerja dengan Kementerian Perdagangan pekan depan. “Kami akan mengkritisi regulasi mengenai lelang gula rafinasi itu,” katanya kepada D-Inside, Selasa (19/9). Sebab, secara kewenangan, DPR memang tidak dapat membatalkan kebijakan menteri.

Meski begitu, menurut Inas, bila memang diperlukan maka DPR secara politis dapat menunda pelaksanaan peraturan itu. “Tapi (penundaannya) tidak dalam waktu yang lama.”

Sejak diterbitkan medio Maret lalu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16/M-DAG/PER/3/2017 tentang perdagangan gula kristal rafinasi melalui pasar lelang komoditas memang menuai kontroversi. Pembelian gula rafinasi melalui mekanisme lelang dimulai 90 hari sejak peraturan itu diterbitkan.

Namun, hingga tanggal yang ditetapkan pada 17 Juni 2017, lelang gula rafinasi belum juga dilaksanakan. Sebab, pada tanggal itu ternyata baru dibuat kesepakatan antara PT Pasar Komoditas Jakarta (PT PKJ) selaku penyelenggara lelang dengan asosiasi pengusaha makanan-minuman yang diwakili Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) dan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI).

Nota Kesepakatan Bersama itu ditandatangani oleh tiga pihak pada Sabtu, 17 Juni 2017, pukul 00.12 WIB di Kantor Kementerian Perdagangan. Poin kesepakatan tersebut, di antaranya, adalah pelaksanaan pasar lelang gula kristal rafinasi pada 17 Juni 2017 ditunda dan efektif dilaksanakan pada 10 Juli 2017 dengan masa simulasi dilakukan pada 3-7 Juli 2017.

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Bachrul Chairi membenarkan adanya kesepakatan tersebut. Ia menyebut,  penundaan pemberlakuan lelang gula rafinasi karena masih ada pihak yang memerlukan pemahaman dan penyesuaian. Surat Keputusan pengunduran waktu pelaksanaan lelang kemudian ditandatangani oleh Menteri Perdagangan.

Namun, rencana tersebut kembali urung terlaksana. Menteri Enggar secara mendadak mengumumkan penundaan lelang gula rafinasi sampai waktu yang tidak ditentukan. Inas mengatakan, pengumuman penundaan itu disampaikan setelah Enggar dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana Negara. Kabarnya, Jokowi tidak merestui rencana politisi Partai Nasdem itu melaksanakan lelang gula rafinasi dan menunjuk PT PKJ sebagai penyelenggara lelang.

Inas mensinyalir ada kejanggalan dalam penunjukan Pasar Komoditas sebagai perusahaan penyelenggara lelang. Perusahaan itu dianggap belum berpengalaman karena baru berdiri tahun lalu.

Fakta ini bertentangan dengan Pasal 19b Perpaturan Presiden 4/2015 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah yang mensyaratkan penyedia barang/jasa wajib memiliki, tidak hanya keahlian, tetapi juga pengalaman. Rekam jejak berupa pengalaman dalam penyelenggaraan lelang sulit dibuktikan mengingat keberadaan perseroan ini yang belum berusia setahun.

Pada bundel konsep tata niaga gula rafinasi nasional yang disampaikan Kementerian Perdagangan pada Rapat Kerja di Komisi VI DPR 19 Juni lalu terungkap bahwa Pasar Komoditas dimiliki oleh PT Global Nusa Lestari sebanyak 90% saham dan PT Bursa Berjangka Jakarta 10% saham.

Komposisi pemegang saham Global Nusa Lestari adalah PT Bumindo Kharisma Sentosa 99,9% dan Daniel Rusli 0,1%. Sedangkan 99,5% saham Bumindo dimiliki Daniel Rusli dan Randy Suparman 0,5%.

Dari penelusuran situs internet arthagrahapeduli.org, diketahui Daniel Rusli dan Randy Suparman aktif di Artha Graha Peduli dan masing-masing menjabat sebagai Direktur PT Indonesia Mitra Jaya dan Direktur Komersial PT Sumber Agro Semesta (Artha Graha Group).

Meski begitu, Enggar tetap kukuh dengan keputusannya. Pada Agustus lalu, peraturan itu direvisi dengan menerbitkan Permendag No. 40/M-DAG/PER/3/2017 yang menetapkan pelaksanaan lelang mulai 1 Oktober 2017.

Ia berharap, sistem lelang ini akan dapat mengatasi kebocoran gula rafinasi ke pasar. Sebab, selama ini diperkirakan 200-300 ribu ton gula rafinasi bocor ke pasar setiap tahun. Pelaku usaha kecil-menengah maupun pengusaha besar juga memperoleh perlakuan sama dalam mendapatkan bahan baku.

Informasi yang diproleh D-Inside, revisi aturan itu tanpa melalui koordinasi terlebih dahulu di internal pemerintahan. “Menko Perekonomian (Darmin Nasution) tidak dilibatkan dalam perubahan aturan itu,” kata seorang sumber di pemerintahan. Padahal, kebijakan itu sudah menuai kontroversi sejak awal diterbitkan.

Pengusaha makanan dan minuman, yang mengandalkan gula rafinasi sebagai bahan baku, mengkritik skema lelang itu justru memperpanjang rantai distribusi dan menambah ongkos produksi. Selama ini pengusaha hanya berhubungan dengan produsen gula rafinasi, yang mengimpor gula mentah (raw sugar) untuk diolah menjadi gula rafinasi.

Ke depan, dengan aturan baru itu maka pengusaha harus melewati pihak ketiga, yakni perusahaan pengelola pasar lelang sehingga akan menimbulkan biaya tambahan.

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai transaksi yang terjadi dalam pelaksanaan pasar lelang gula rafinasi merupakan praktik perburuan rente. Dengan volume perdagangan sekitar 3 juta ton dan biaya transaksi senilai Rp 85 ribu per ton maka pendapatan penyelenggara lelang sekitar Rp 255 miliar.